Ceritanya, pada suatu saat konon raja Puri Oka mengalami sakit keras. Sang raja sudah mencoba berobat ke berbagai tabib tapi tak kunjung sembuh. Pada Hari Raya Nyepi, masyarakat Puri Oka menggelar permainan omed omedan yang asal katanya dari med-medan (tarik-tarikan). Saking antusiasnya, suasana jadi gaduh akibat acara saling tarik para truna truni. Raja yang saat itu sedang sakit pun marah besar. Dengan berjalan terhuyung-huyung raja keluar dan melihat warganya yang sedang tarik-tarikan sampai berpelukan. Anehnya melihat adegan itu, tiba-tiba raja tak lagi merasakan sakitnya. Ajaibnya setelah itu raja kembali sehat seperti sediakala. Raja lalu mengeluarkan titah agar omed omedan harus dilaksanakan tiap Hari Raya Nyepi. Namun pemerintah Belanda yang waktu itu menjajah gerah dengan upacara itu. Belanda pun melarang ritual permainan muda mudi tersebut. Warga yang taat adat tidak menghiraukan larangan Belanda dan tetap menggelar omed omedan. Namun tiba-tiba ada 2 ekor babi besar berkelahi di tempat omed omedan biasa digelar. Akhirnya raja dan rakyat meminta petunjuk kepada leluhur. Setelah itu omed omedan dilaksanakan kembali tapi sehari setelah Hari Raya Nyepi. Pada zaman Belanda, omed omedan dilakukan dengan cara saling berangkulan. Namun seiring perkembangan zaman para peserta omed omedan lebih berani dan tak lagi saling rangkul tapi juga saling cium. Awalnya hanya cium pipi, tapi sejak 3 tahun lalu, ciuman telah berubah menjadi ciuman bibir. Tidak jarang usai omed omedan muda-mudi Banjar menemukan jodohnya langsung. Namun seiring perkembangan, terkadang biasanya yang berada diposisi terdepan antara barisan truna / laki-laki dan barisan truni/wanita sudah memiliki hubungan sebagai pacar.
0 komentar:
Posting Komentar