Mencari Jati Diri
Dengan Kerendahan Hati
Hampir setiap jengkal tanah yang ada di Bali merupakan bagian dari jejak suci perjalanan orang-orang suci yang datang ke Bali. Salah satunya, Dang Hyang Dwijendra. Hal ini senantiasa memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi warga hingga kini. Di manapun beliau berada, membuat suatu perubahan yang mempunyai nilai religius sangat tinggi. Salah satunya, Pura Tugu yang terletak di Desa Tegal Tugu, Kecamatan Gianyar. Apa dan bagaimana makna dan filosofi pelinggih yang ada di Pura Tugu?
Hampir setiap jengkal tanah yang ada di Bali merupakan bagian dari jejak suci perjalanan orang-orang suci yang datang ke Bali. Salah satunya, Dang Hyang Dwijendra. Hal ini senantiasa memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi warga hingga kini. Di manapun beliau berada, membuat suatu perubahan yang mempunyai nilai religius sangat tinggi. Salah satunya, Pura Tugu yang terletak di Desa Tegal Tugu, Kecamatan Gianyar. Apa dan bagaimana makna dan filosofi pelinggih yang ada di Pura Tugu?
KATA “tugu” dari hahasa Jawa disamakan dengan candi. Dan, hal tersebut juga benar adanya sebagaimana yang terdapat di Pura Tugu. Pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh (Dang Hyang Dwijendra), dibuat menyerupai candi. Banyak orang yang belum mengetahui tentang keberadaan Pura Tugu. Namun keberadaan pura ini tercantum dalam Dwijendra Tatwa.
Nama Pura Tugu ini sangat jelas sekali disebutkan keberadaannya yang berkaitan dengan perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra saat ada di Gianyar. Selain tercantum dalam Dwijendra Tatwa, keberadaan Pura Tugu ini, menurut Dewa Mangku Tugu, disinyalir juga tercatat dalam prasasti yang ada di Puri Gianyar.
Dewa Mangku menjelaskan bahwa Pura Tugu yang terletak di pinggiran Tukad Cangkir merupakan pura yang masih diempon oleh pihak Puri Gianyar hingga saat ini. Selain Pura Tugu, di areal pura tersebut masih berkaitan dengan keberadaan Pura Melanting dan Pura Dalem Segening yang merupakan pura dari trah Dewa Agung Manggis, Raja Puri Gianyar. Hal ini juga dapat dilihat dari keberadaan pohon manggis di areal pura tersebut.
Pohon yang jumlahnya sebanyak empat buah ini, konon telah berusia ratusan tahun. Dewa Mangku yang berasal dari keluarga pemangku secara turun-temurun sebagai pengayah di pura tersebut, mengakui seingatnya bahwa pohon tersebut telah ada dan ukurannya tidak jauh mengalami perubahan.
Pohon yang jumlahnya sebanyak empat buah ini, konon telah berusia ratusan tahun. Dewa Mangku yang berasal dari keluarga pemangku secara turun-temurun sebagai pengayah di pura tersebut, mengakui seingatnya bahwa pohon tersebut telah ada dan ukurannya tidak jauh mengalami perubahan.
Pura Tugu berada di hulu Desa Tegal Tugu. Tepatnya di sebelah timur lapangan Tegal Tugu. Pura ini dilihat dari luar tampak sekali mempunyai perbedaan dengan pura lainnya. Khususnya, pada bebentaran angkul-angkul pura.
Saat memasuki pura tersebut sama sekali pada angkul-angkul pura tidak ada gelung kori (atap). Konon, arsitektur Candi Bentar tersebut berkaitan dengan kedatangan Dang Hyang Dwijendra ke pura tersebut. Meski demikian, di Pura Tugu ini tetap berkonsepkan pada Tri Mandala. Pura Tugu terdiri atas bagian utama mandala, madya mandala dan nista mandala.
Di bagian utama mandala (jeroan) terdapat sejumlah pelinggih. Di antaranya, Pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh yang bentuknya menyerupai candi dengan dua pelinggih pengabih. Di depan pelinggih candi terdapat pelinggih Gedong Betel yang merupakan tempat berias tatkala diselenggarakan piodalan. Di bagian jeroan juga ada Pelinggih Ulun Suwi dan Pelinggih Batara Segara, serta sejumlah pelinggih lainnya. Sementara di bagian madya mandala sama sekali tidak terdapat pelinggih. Namun dua pengapit dan dua sedan tampak pada bagian nista madala pura. Selain itu, di bagian utama mandala juga terdapat bangunan Pura Dalem Segening. Letaknya yang dalam satu kawasan ini hanya dibatasi dengan tembok penyengker.
Di bagian utama mandala (jeroan) terdapat sejumlah pelinggih. Di antaranya, Pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh yang bentuknya menyerupai candi dengan dua pelinggih pengabih. Di depan pelinggih candi terdapat pelinggih Gedong Betel yang merupakan tempat berias tatkala diselenggarakan piodalan. Di bagian jeroan juga ada Pelinggih Ulun Suwi dan Pelinggih Batara Segara, serta sejumlah pelinggih lainnya. Sementara di bagian madya mandala sama sekali tidak terdapat pelinggih. Namun dua pengapit dan dua sedan tampak pada bagian nista madala pura. Selain itu, di bagian utama mandala juga terdapat bangunan Pura Dalem Segening. Letaknya yang dalam satu kawasan ini hanya dibatasi dengan tembok penyengker.
Pelaksanaan piodalan di Pura Tugu dilakukan setiap Anggarkasih, Medangsia. Warga yang mengaturkan bakti selain dari Desa Tegal Tugu, juga banyak pemedek dari luar Gianyar yang datang saat piodalan. “Bukan saja di setiap diaturkan piodalan, setiap hari purnama dan tilem juga ada warga yang datang untuk bersembahyang,” ujar pemangku pura.
Bahkan, kini bayak warga yang berasal dari golongan brahmana datang ke Pura Tugu guna melakukan persembahyangan. Dalam pura tugu tersebut, salah satu pelinggih yang ada juga merupakan pesimpangan Batara Sakti yang berstana di Pura Manuaba.
Kilas balik keberadaan Pura Tugu, diceritakan bahwa dalam perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang sampai di suatu pemukiman penduduk. Setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang, beliau ingin beristirahat dan saat itu berhenti di luar suatu pura kahyangan. Tiba-tiba, di tengah peristirahatan beliau datang seorang pemangku (pendeta pura) dan dalam pura setelah menyapu dan melalukan pembersihan, menghampiri Dang Hyang Dwijendra yang berhenti di luar pura. Setelah bertemu, pemangku pura tersebut kemudian menyuruh beliau untuk menyembah ke dalam pura. Dang Hyang Dwijendra saat itu tak membantah dan menuruti permintaan dari pemangku untuk menyembah di pura tersebut. Bergegaslah beliau masuk ke pura diiringi oleh pemangku. Beliau bersila berhadapan dengan bangunan pelinggih yang ada di pura tersebut lain melakukan yoga.
Kilas balik keberadaan Pura Tugu, diceritakan bahwa dalam perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang sampai di suatu pemukiman penduduk. Setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang, beliau ingin beristirahat dan saat itu berhenti di luar suatu pura kahyangan. Tiba-tiba, di tengah peristirahatan beliau datang seorang pemangku (pendeta pura) dan dalam pura setelah menyapu dan melalukan pembersihan, menghampiri Dang Hyang Dwijendra yang berhenti di luar pura. Setelah bertemu, pemangku pura tersebut kemudian menyuruh beliau untuk menyembah ke dalam pura. Dang Hyang Dwijendra saat itu tak membantah dan menuruti permintaan dari pemangku untuk menyembah di pura tersebut. Bergegaslah beliau masuk ke pura diiringi oleh pemangku. Beliau bersila berhadapan dengan bangunan pelinggih yang ada di pura tersebut lain melakukan yoga.
Tiba-tiba saja bangunan pelinggih tersebut rusak, membuat pemangku terkejut disertai dengan perasaan terharu melihat kenyataan tersebut. Pemangku pun menangis dan meminta maaf atas kesalahannya dan memohon agar bangunan pelinggih tersebut dikembalikan lagi seperti semula.
Dengan kesucian dan yoga dari Dang Hyang Dwijendra, akhirnya bangunan pelinggih (Gedong Betel) yang ada di pura tersebut kembali seperti semula. Pada kesempatan tersebut, atas kesucian dan kesaktian dari Dang Hyang Dwijendra, beliau memberikan kancing gelung yang dimilikinya kepada pemangku pura. Kancing gelung tersebut agar ditempatkan di pura yang diemponnya, yang kini bernama Pura Tugu.
Sebagaimana biasanya, setiap piodalan di Pura Tugu, menurut penuturan tetua di desa setempat, kancing gelung tersebut dipendak (dijemput) untuk diupacarai di pura dari tempat panyimpenannya di Puri Gianyar. Hal itu pun berlaku hingga kini.
Dan sepenggalan cerita keberadaan Pura Tugu, betapa makna yang dalam dari apa yang terjadi saat itu. Betapa kesucian dari yoga mempunyai nilai yang sangat tinggi. Demikian pula dalam hal kerendahan hati yang harus kita miliki dalam menemukan jati diri. Meski dalam hal ini beliau mengetahui apa yang akan terjadi pada pelinggih pura tersebut di saat akan melakukan persembahyangan di pura yang diempon oleh pemangku tersebut.
Sementara itu, selama sebagai pengayah di Pura Tugu, Dewa Aji Mangku mengakui bahwa di samping sering didatangi warga setempat dari luar daerah banyak pula pejabat yang tangkil ke pura tersebut. Mereka datang dengan membawa sesajen melakukan persembahyangan di depan Pelinggih Dang Hyang Dwijendra. Kedatangan mereka sebagaimana warga lainnya yang memohon keselamatan.
Dan sepenggalan cerita keberadaan Pura Tugu, betapa makna yang dalam dari apa yang terjadi saat itu. Betapa kesucian dari yoga mempunyai nilai yang sangat tinggi. Demikian pula dalam hal kerendahan hati yang harus kita miliki dalam menemukan jati diri. Meski dalam hal ini beliau mengetahui apa yang akan terjadi pada pelinggih pura tersebut di saat akan melakukan persembahyangan di pura yang diempon oleh pemangku tersebut.
Sementara itu, selama sebagai pengayah di Pura Tugu, Dewa Aji Mangku mengakui bahwa di samping sering didatangi warga setempat dari luar daerah banyak pula pejabat yang tangkil ke pura tersebut. Mereka datang dengan membawa sesajen melakukan persembahyangan di depan Pelinggih Dang Hyang Dwijendra. Kedatangan mereka sebagaimana warga lainnya yang memohon keselamatan.
Apa permohonan mereka di luar itu, Dewa Aji Mangku mengaku tidak tahu. “Apa maksud dan tujuan dari mereka yang datang sama sekali tidak diketahui,” ujarnya. Namun, di Pura Tugu juga merupakan tempat bagi calon pandita (pedanda). Di antara calon orang suci ini datang melakukan persembahyangan dengan sesajen lengkap untuk meminta restu serta pawintenan termasuk padiksaan.
0 komentar:
Posting Komentar