Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

METATAH : TRADISI POTONG GIGI DI BALI

Metatah: Tradisi Potong Gigi Remaja Bali

 Kehidupan seorang manusia keturunan Bali selalu diiringi upacara adat dan keagamaan dari lahir sampai meninggal. Aneka macam ritual digelar dalam menyeimbangakn hubungan seseorang dengan lingkungan dan Sang Pencipta. Nah, kali ini saya membahas tradisi metatah (sangging), yaitu ritual memotong gigi bagi remaja laki-laki dan perempuan yang menginjak dewasa di Bali.
Praktek sebenarnya bukanlah memotong benda sebagaimana orang memotong pohon bambu. Lebih tepat disebut mengikir atau merapikan barisan gigi yang tidak rata. Gigi yang diratakan adalah 6 gigi atas, termasuk gigi tarik. Proses ini dilakukan oleh seorang yang disebut sangging dan memiliki kekuatan supranatural. Upacara metatah berjalan selama 10 sampai 15 menit dengan penjagaan keluarga yang ketat.
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, upacara adat metatah bertujuan membunuh enam musuh dalam diri manusia yang dinggap kurang baik bahkan sering dianggap sebagai musuh dalam diri sendiri. Enam  musuh itu yang disebut dengan Sad Ripu. Meliputi:
  1. Kama (hawa nafsu yang tidak terkendalikan)
  2. Loba (ketamakan, ingin selalu mendapatkan yang lebih)
  3. Krodha (marah yang melampaui batas dan tidak terkendalikan)
  4. Mada (mabuk yang membawa kegelapan pikiran)
  5. Moha (kebingungan dan kurang mampu berkonsentrasi sehingga seseorang tidak dapat menyelesaikan tugas  dengan sempurna)
  6. Matsarya (iri hati atau dengki yang menyebabkan permusuhan)
Upacara metatah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini disebabkan banyak perlengkapan sesajen yang diperlukan. Juga kebiasaan mengundang sanak saudara dan keluarga besar untuk hadir layaknya sebuah hajatan pernikahan. Oleh karena itu masyarakat Bali mensiasatinya dengan melakukan metatah secara beramai-ramai atau digabungkan dengan rangkaian upacara adat lainnya

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SUASANA MISTIS DI GUNUNG SELOK

Suasana Mistis di Gunung Selok

Kamis, 12 Mei 2011 - 15:09 wib
Pasha Ernowo - Okezone
(foto: friendlyandprofessional.blogspot)
 
Apa yang terlintas saat mendengar Pulau Nusakambangan? Pasti Anda berpikiran sebuah pulau yang dihuni narapidana kelas kakap. Tapi tidak hanya itu saja, ternyata di sana tempat yang unik yakni Gunung Selok yang merupakan kawasan perbukitan dan hutan seluas lebih dari 100 hektar.

Selok adalah tempat lain di Cilacap, yang bagi sebagian masyarakat tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan hari libur. Selok juga menyediakan tiga lokasi yang bisa dinikmati. Kawasan pertanian, pegunungan dan kawasan pantai.

Kawasan ini berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia, sehingga pantainya landai. Ombak yang ganas menjadi ciri khas kawasan pesisir, di sepanjang Pantai Selatan Jawa.

Para nelayan ini telah melupakan peristiwa tsunami, 2 tahun lalu, yang menyapu bersih rumah mereka. Kini mereka berjuang keras melawan ganasnya ombak pantai selatan, untuk menghidupi keluarga.

Mereka memasang jaring hingga ke tengah laut dan biasanya dilakukan berdua. Sangat berbahaya, karena tidak sedikit teman-teman mereka menemui ajal, ditelan ganasnya ombak pantai selatan. Mereka jarang menggunakan perahu dan menangkap ikan dengan tradisi yang sudah turun temurun.

Pemandangan berubah ketika memasuki kawasan perbukitan. Sembilan goa yang letaknya memutari kawasan perbukitan, menggantikan keindahan alam dengan suasana mistis yang kental.

Banyak orang mengkeramatkan gua ini dan Gua Naga Raja, Rahayu, Ratu, dan Pakuaja, adalah yang dianggap paling keramat. Tidak sedikit orang yang datang berziarah, untuk mencari berkah dan keselamatan. Gua inilah yang membuat tenar Gunung Selok sebagai gunung keramat.

Peziarah yang datang bahkan dari luar Cilacap. Dan diantara mereka, tidak sedikit pula berlatar belakang pendidikan tinggi serta menduduki posisi penting dalam pemerintahan.

Untuk mencapai gua di Gunung Selok tidak bisa menggunakan kendaraan bermotor. Selain sungai dan rawa, sempitnya jalan sehingga ke lokasi harus berjalan kaki. Gua ini bernama Naga Raja, salah satu gua yang dikeramatkan.

Naga Raja adalah gua yang paling dikeramatkan dan banyak dikunjungi peziarah. Selain peziarah, gua ini juga menjadi tempat yang nyaman bagi ribuan kelelawar.

Siapapun yang ingin masuk ke gua, harus berhubungan dengan Waris. Dialah juru kunci, yang mengetahui seluk beluk gua ini.

Menjamurnya pedagang di mulut goa, menandakan goa Naga Raja banyak dikunjungi peziarah. Goa ini terbentuk secara alamiah. Panjangnya lebih dari 200 meter dan makin jauh kedalam semakin sempit sehingga sulit dijangkau. Selain itu, goa ini juga bercabang dan bisa menyesatkan mereka yang baru pertama kali datang.

Biasanya pada hari-hari tertentu, seperti Selasa dan Jumat Kliwon atau bulan Syuro, ziarah membanjiri goa ini. Bahkan ada juga politikus atau artis yang datang untuk mencari berkah.

Sudah sejak lama, Gunung Selok dijadikan kawasan misteri yang mengundang siapa saja untuk mencari kebahagiaan dan ketenangan hidup.


Sumber :www. okezone.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SEJARAH AGAMA HINDU

Sejarah Agama Hindu Print E-mail
ImageAgama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.

Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: "Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu".
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.

Agama Hindu di India

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

Masuknya Agama Hindu di Indonesia

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mencari Jati Diri Dengan Kerendahan Hati



Mencari Jati Diri
Dengan Kerendahan Hati
Hampir setiap jengkal tanah yang ada di Bali merupakan bagian dari jejak suci perjalanan orang-orang suci yang datang ke Bali. Salah satunya, Dang Hyang Dwijendra. Hal ini senantiasa memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi warga hingga kini. Di manapun beliau berada, membuat suatu perubahan yang mempunyai nilai religius sangat tinggi. Salah satunya, Pura Tugu yang terletak di Desa Tegal Tugu, Kecamatan Gianyar. Apa dan bagaimana makna dan filosofi pelinggih yang ada di Pura Tugu?

KATA “tugu” dari hahasa Jawa disamakan dengan candi. Dan, hal tersebut juga benar adanya sebagaimana yang terdapat di Pura Tugu. Pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh (Dang Hyang Dwijendra), dibuat menyerupai candi. Banyak orang yang belum mengetahui tentang keberadaan Pura Tugu. Namun keberadaan pura ini tercantum dalam Dwijendra Tatwa.

Nama Pura Tugu ini sangat jelas sekali disebutkan keberadaannya yang berkaitan dengan perjalanan suci Dang Hyang Dwijendra saat ada di Gianyar. Selain tercantum dalam Dwijendra Tatwa, keberadaan Pura Tugu ini, menurut Dewa Mangku Tugu, disinyalir juga tercatat dalam prasasti yang ada di Puri Gianyar.
Dewa Mangku menjelaskan bahwa Pura Tugu yang terletak di pinggiran Tukad Cangkir merupakan pura yang masih diempon oleh pihak Puri Gianyar hingga saat ini. Selain Pura Tugu, di areal pura tersebut masih berkaitan dengan keberadaan Pura Melanting dan Pura Dalem Segening yang merupakan pura dari trah Dewa Agung Manggis, Raja Puri Gianyar. Hal ini juga dapat dilihat dari keberadaan pohon manggis di areal pura tersebut.
Pohon yang jumlahnya sebanyak empat buah ini, konon telah berusia ratusan tahun. Dewa Mangku yang berasal dari keluarga pemangku secara turun-temurun sebagai pengayah di pura tersebut, mengakui seingatnya bahwa pohon tersebut telah ada dan ukurannya tidak jauh mengalami perubahan.

Pura Tugu berada di hulu Desa Tegal Tugu. Tepatnya di sebelah timur lapangan Tegal Tugu. Pura ini dilihat dari luar tampak sekali mempunyai perbedaan dengan pura lainnya. Khususnya, pada bebentaran angkul-angkul pura.

Saat memasuki pura tersebut sama sekali pada angkul-angkul pura tidak ada gelung kori (atap). Konon, arsitektur Candi Bentar tersebut berkaitan dengan kedatangan Dang Hyang Dwijendra ke pura tersebut. Meski demikian, di Pura Tugu ini tetap berkonsepkan pada Tri Mandala. Pura Tugu terdiri atas bagian utama mandala, madya mandala dan nista mandala.
Di bagian utama mandala (jeroan) terdapat sejumlah pelinggih. Di antaranya, Pelinggih Batara Sakti Wawu Rauh yang bentuknya menyerupai candi dengan dua pelinggih pengabih. Di depan pelinggih candi terdapat pelinggih Gedong Betel yang merupakan tempat berias tatkala diselenggarakan piodalan. Di bagian jeroan juga ada Pelinggih Ulun Suwi dan Pelinggih Batara Segara, serta sejumlah pelinggih lainnya. Sementara di bagian madya mandala sama sekali tidak terdapat pelinggih. Namun dua pengapit dan dua sedan tampak pada bagian nista madala pura. Selain itu, di bagian utama mandala juga terdapat bangunan Pura Dalem Segening. Letaknya yang dalam satu kawasan ini hanya dibatasi dengan tembok penyengker. 

Pelaksanaan piodalan di Pura Tugu dilakukan setiap Anggarkasih, Medangsia. Warga yang mengaturkan bakti selain dari Desa Tegal Tugu, juga banyak pemedek dari luar Gianyar yang datang saat piodalan. “Bukan saja di setiap diaturkan piodalan, setiap hari purnama dan tilem juga ada warga yang datang untuk bersembahyang,” ujar pemangku pura. 

Bahkan, kini bayak warga yang berasal dari golongan brahmana datang ke Pura Tugu guna melakukan persembahyangan. Dalam pura tugu tersebut, salah satu pelinggih yang ada juga merupakan pesimpangan Batara Sakti yang berstana di Pura Manuaba.
Kilas balik keberadaan Pura Tugu, diceritakan bahwa dalam perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang sampai di suatu pemukiman penduduk. Setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang, beliau ingin beristirahat dan saat itu berhenti di luar suatu pura kahyangan. Tiba-tiba, di tengah peristirahatan beliau datang seorang pemangku (pendeta pura) dan dalam pura setelah menyapu dan melalukan pembersihan, menghampiri Dang Hyang Dwijendra yang berhenti di luar pura. Setelah bertemu, pemangku pura tersebut kemudian menyuruh beliau untuk menyembah ke dalam pura. Dang Hyang Dwijendra saat itu tak membantah dan menuruti permintaan dari pemangku untuk menyembah di pura tersebut. Bergegaslah beliau masuk ke pura diiringi oleh pemangku. Beliau bersila berhadapan dengan bangunan pelinggih yang ada di pura tersebut lain melakukan yoga. 

Tiba-tiba saja bangunan pelinggih tersebut rusak, membuat pemangku terkejut disertai dengan perasaan terharu melihat kenyataan tersebut. Pemangku pun menangis dan meminta maaf atas kesalahannya dan memohon agar bangunan pelinggih tersebut dikembalikan lagi seperti semula. 

Dengan kesucian dan yoga dari Dang Hyang Dwijendra, akhirnya bangunan pelinggih (Gedong Betel) yang ada di pura tersebut kembali seperti semula. Pada kesempatan tersebut, atas kesucian dan kesaktian dari Dang Hyang Dwijendra, beliau memberikan kancing gelung yang dimilikinya kepada pemangku pura. Kancing gelung tersebut agar ditempatkan di pura yang diemponnya, yang kini bernama Pura Tugu. 

Sebagaimana biasanya, setiap piodalan di Pura Tugu, menurut penuturan tetua di desa setempat, kancing gelung tersebut dipendak (dijemput) untuk diupacarai di pura dari tempat panyimpenannya di Puri Gianyar. Hal itu pun berlaku hingga kini.
Dan sepenggalan cerita keberadaan Pura Tugu, betapa makna yang dalam dari apa yang terjadi saat itu. Betapa kesucian dari yoga mempunyai nilai yang sangat tinggi. Demikian pula dalam hal kerendahan hati yang harus kita miliki dalam menemukan jati diri. Meski dalam hal ini beliau mengetahui apa yang akan terjadi pada pelinggih pura tersebut di saat akan melakukan persembahyangan di pura yang diempon oleh pemangku tersebut.
Sementara itu, selama sebagai pengayah di Pura Tugu, Dewa Aji Mangku mengakui bahwa di samping sering didatangi warga setempat dari luar daerah banyak pula pejabat yang tangkil ke pura tersebut. Mereka datang dengan membawa sesajen melakukan persembahyangan di depan Pelinggih Dang Hyang Dwijendra. Kedatangan mereka sebagaimana warga lainnya yang memohon keselamatan. 

Apa permohonan mereka di luar itu, Dewa Aji Mangku mengaku tidak tahu. “Apa maksud dan tujuan dari mereka yang datang sama sekali tidak diketahui,” ujarnya. Namun, di Pura Tugu juga merupakan tempat bagi calon pandita (pedanda). Di antara calon orang suci ini datang melakukan persembahyangan dengan sesajen lengkap untuk meminta restu serta pawintenan termasuk padiksaan. 

Bahkan, ada juga pedanda yang datang ke pura tersebut hanya untuk mempasupati buku-buku pelajarannya, serta ngewintenan bajra yang dipergunakan untuk melakukan proses upacara. Pura Tugu juga dipercaya sebagai pemberi berkah intelektual. Di samping kesehariiannya, siswa-siswa sekolah setempat melakukan persembahyangan, ada pula warga yang secara khusus datang ke pura untuk memohon wahyu untuk dapat sukses menyelesaikan pendidikannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Omed-omedan, Tradisi Ciuman Massal di Bali



Ceritanya, pada suatu saat konon raja Puri Oka mengalami sakit keras. Sang raja sudah mencoba berobat ke berbagai tabib tapi tak kunjung sembuh. Pada Hari Raya Nyepi, masyarakat Puri Oka menggelar permainan omed omedan yang asal katanya dari med-medan (tarik-tarikan). Saking antusiasnya, suasana jadi gaduh akibat acara saling tarik para truna truni. Raja yang saat itu sedang sakit pun marah besar. Dengan berjalan terhuyung-huyung raja keluar dan melihat warganya yang sedang tarik-tarikan sampai berpelukan. Anehnya melihat adegan itu, tiba-tiba raja tak lagi merasakan sakitnya. Ajaibnya setelah itu raja kembali sehat seperti sediakala. Raja lalu mengeluarkan titah agar omed omedan harus dilaksanakan tiap Hari Raya Nyepi. Namun pemerintah Belanda yang waktu itu menjajah gerah dengan upacara itu. Belanda pun melarang ritual permainan muda mudi tersebut. Warga yang taat adat tidak menghiraukan larangan Belanda dan tetap menggelar omed omedan. Namun tiba-tiba ada 2 ekor babi besar berkelahi di tempat omed omedan biasa digelar. Akhirnya raja dan rakyat meminta petunjuk kepada leluhur. Setelah itu omed omedan dilaksanakan kembali tapi sehari setelah Hari Raya Nyepi. Pada zaman Belanda, omed omedan dilakukan dengan cara saling berangkulan. Namun seiring perkembangan zaman para peserta omed omedan lebih berani dan tak lagi saling rangkul tapi juga saling cium. Awalnya hanya cium pipi, tapi sejak 3 tahun lalu, ciuman telah berubah menjadi ciuman bibir. Tidak jarang usai omed omedan muda-mudi Banjar menemukan jodohnya langsung. Namun seiring perkembangan, terkadang biasanya yang berada diposisi terdepan antara barisan truna / laki-laki dan barisan truni/wanita sudah memiliki hubungan sebagai pacar.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS